RSS

PERSEPSI SISWA TERHADAP KEBERADAAN KONSELOR

09 Des

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. A.          LATAR BELAKANG

Bimbingan dan Konseling (BK) dahulu Bimbingan dan Penyuluhan (BP) merupakan salah satu komponen dalam keseluruhan sistem pendidikan di sekolah. Banyak persepsi yang ditujukan terhadap BK di sekolah. Siswa, guru, orang tua/wali murid dan warga masyarakat masih banyak yang belum mengetahui dan memahami BK  di sekolah. Mereka memiliki persepsi yang berbeda-beda. Ada yang menafsirkan BK adalah tempat  menyelesaikan masalah. BK adalah tempat pemberian hukuman. BK merupakan tempat yang menyeramkan dan menakutkan, karena guru BKnya galak, garang, sadis  dan  main  pukul/ tempeleng,  sehingga  timbul  kesan  bahwa  guru  BK  adalah polisi  sekolah ,  sebagaimana  pendapat   Kartono (2007): Peran  konselor  dengan  lembaga bimbingan   konseling ( BK )   direduksi   sekadar   sebagai   polisi   sekolah ( http://tinaesti.wordpress.com ).

Dunia persepsi adalah suatu dunia yang penuh arti. Mempersepsi tidaklah sama dengan memandang benda dan kejadian tanpa makna. Yang dipersepsi seseorang selalu merupakan ekspresi-ekspresi, benda-benda dengan fungsinya, tanda-tanda serta kejadian-kejadian. Seperti kata Leavitt “persepsi merupakan pandangan atau bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu” (Sobur, 2003:445). Semua yang dipersepsi itu mempunyai arti tersendiri dalam pikiran. Misalnya saja, siswa yang datang terlambat ke sekolah atau melanggar tata tertib sxekolah, kemudian dipanggil ke ruang bimbingan dan konseling (BK) untuk menghadap konselor, maka siswa-siswi tersebut akan memiliki pandangan atau anggapan bahwa konselor sekolah adalah sosok orang yang galak, yang biasanya hanya menghukum dan mengatur para siswanya.

Yang mempersepsi tidak hanya salah satu indera saja, melainkan seluruh indera yang dimiliki oleh individu. Oleh karena itu, apa yang kita persepsi sangat erat kaitannya dengan pengetahuan serta pengalaman, perasaan, keinginan , dan juga tidak sesuai dengan bagaimana orang memandang atau mengamati penampilan dan perilaku orang lain. Seseorang mengambil kesimpulan tentang orang lain berdasarkan dari stimuli yang diterima, meskipun informasi yang diperoleh tidak begitu lengkap.

Persepsi siswa terhadap konselor terjadi karena siswa tersebut memperhatikan sesuatu yang nampak pada diri konselor yang meliputi penampilan fisik, perilaku dan juga ruang lingkup kerja (tugas) konselor. Jika penampilan fisik, perilaku dan ruang lingkup kerja konselor seperti apa yang diharapkan oleh siswa, maka siswa akan berpersepsi kurang baik (negative) terhadap konselor. Informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa masih ditemukan siswa yang menganggap konselor adalah seorang guru yang galak, tidak bias diajak bercanda, bahkan konselor disebut polisi sekolah yang bisanya hanya memarahi dan menghukum siswa-siswa yang melanggar tata tertib sekolah. Sehingga apabila ada siswa yang datang menghadap konselor, maka siswa tersebut diyakini mempunyai masalah pelanggaran atau telah berbuat suatu kesalahan.

Tugas konselor tidak semata-mata mencari-cari kesalahan siswa lalu menceramahi habis-habisan, kemudian berharap siswa tersebut mengakui kesalahan dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya. Akan tetapi ada peran yang lebih penting yang dilakukan oleh konselor sekolah sekolah yaitu memnetuk karakter siswa agar nantinya siswa dapat berkembang secara optimal.

  1. B.           TOPIK MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah seperti di atas dapat diidentifikasikan permasalahan yang berkaitan dengan persepsi siswa terhadap keberadaan konselor sekolah.

Bimbingan dan konseling adalah layanan bantuan untuk peserta didik baik secara perorangan maupun kelompok agar mandiri dan bias berkembang secara optimal, dalam bimbingan pribadi, social, belajar maupun karir melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku ( SK Mendikbud No. 025/D/1995).

Bimbingan dan konseling merupakan upaya proaktif dan sistematik dalam memfasilitasi individu mencapai tingkat perkembangan yang optimal, pengembangan perilaku yang efektif, pengembangan lingkungan, dan peningkatan fungsi atau manfaat individu dalam lingkungan. Semua perubahan perilaku tersebut merupakan proses perkembangan individu, yakni proses interaksi antara individu dengan lingkungan melalui interaksi yang sehat dan produktif. Bimbingan dan konseling memegang tugas dan tanggung jawab yang penting  untuk mengembangkan lingkungan, membangun interaksi yang dinamis antara individu dengan lingkungan, membelajarkan individu untuk mengembangkan, mengubah, dan memperbaiki perilaku.

Bimbingan dan konseling bukanlah kegiatan pembelajaran dalam konteks adegan mengajar yang layaknya dilakukan oleh guru sebagai pembelajaran bidang studi, melainkan layanan ahli dalam konteks memandirikan peserta didik ( Naskah Akademik ABKIN, Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Penyelenggaran Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal, 2007).

Persepsi tersebut tampaknya telah membentuk pikiran-pikiran negative siswa sehingga mempengaruhi pemahaman siswa tentang hakikat keberadaan konselor sekolah.

Untuk memperjelas permasalahan yang diteliti, maka masalah tersebut dirumuskan sebagai berikut :

  1. Apa pengertian dari persepsi?
  2. Bagaimana persepsi  siswa terhadap keberadaan konselor sekolah?
  1. C.          TUJUAN DAN MANFAAT PEMBAHASAN

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :

  1. Pengertian dari persepsi.
  2. Bagaimana persepsi siswa terhadap keberadaan konselor sekolah.

Penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat :

  1. Bagi mahasiswa

Mengetahui sejauh mana persepsi siswa terhadap keberadaan konselor sekolah. Dan apakah persepsi yang terbentuk tersebut mempengaruhi keberadaan konselor untuk menunjang penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling di sekolah.

  1. Bagi Program Studi

Dari penulisan ini, program studi Bimbingan dan Konseling dapat mengetahui seberapa besar pengaruh persepsi siswa terhadap keberadaan konselor di sekolah mereka masing-masing. Dengan begitu prodi dapat menemukan suatu penelitian baru dari hal-hal tersebut dan untuk tindak lanjut makalah ini, prodi BK dapat memberikan bimbingan kepada para siswa akan pentingnya keberadaan seorang konselor sekolah untuk meningkatkan kinerja layanan bimbingan dan konseling di sekolah.

  1. Bagi Penulis

Bagi penulis, makalah ini dapat menjawab atas pertanyaan dari topik yang dibahas. Bagaimana persepsi siswa terhadap keberadaan konselor di sekolah. Sehingga dengan begitu penulis menjadi mengerti mengenai beragamnya pandangan-pandangan siswa terhadap keberadaan konselor di sekolah.

BAB II

ISI

 

Dalam Bab II penulis mengajukan argumentasi-argumentasi mengenai dasar pikiran yang telah dikemukakan pada Bab I berdasarkan teori atau pendapat para ahli.

  1. A.       Persepsi Siswa Tentang Keberadaan Konselor Sekolah
  2. Pengertian Persepsi

Persepsi, menurut Jalaludin (dalam Gultom, 2008:26), adalah “Pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.”

Menurut Ruch (dalam Gultom, 2008:26), persepsi  adalah “Suatu proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi (sensory) dari pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang berstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu.”

Atkinson dan Hilgard (1991:201) mengemukakan bahwa persepsi adalah “Proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pada stimulus dalam lingkungan.

Gibson dan Danely (1994:53) menjelaskan bahwa persepsi adalah “Proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individu.”

Persepsi merupakan “keadaan yang integregated  dari individu yang bersangkutan, maka apa yang ada dalam diri individu, pengalaman-pengalaman individu, akan ikut aktif dalam persepsi individu” (Walgito 1998:54)

Jadi, persepsi adalah suatu proses dimana menafsirkan dan mengorganisasikan pada stimulus dalam lingkungan melalui petunjuk-petunjuk inderawi.

  1. Syarat Terjadinya Persepsi
  2. Adanya objek yang di persepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar langsung mengenai alat indera (reseptor), dapat dating dari dalam, yang langsung mengenai syarat penerima (sensoris), yang bekerja sebagai reseptor.

  1. Adanya alat indera atau reseptor

Merupakan alat untuk menerima stimulus. Di samping itu harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf otak sebagai pusat kesadaran, dan sebagai alat untuk respons diperlukan syaraf motoris.

  1. Adanya perhatian

Merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi, tanpa perhatian tidak ada persepsi

Dari hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengadakan persepsi ada tiga syarat-syarat yang bersifat:

1)      Fisik atau kealaman

2)      Fisiologis

3)      Psikologis

Dengan demikian dapat dijelaskan terjadinya proses persepsi sebagai berikut :

Objek menimbulkan stimulus, un stimulus mengenai alat indera atau reseptor. Proses ini dinamakan proses kealaman (fisik). Stimulus yang diterima oleh alat indera dilanjutkan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses ini dinamakan proses fisiologis. Kemudian terjadilah suatu proses di otak, sehingga individu dapat menyadari apa yang diterimanya. Proses yang terjadi dalam otak atau pusat kesaran dari proses persepsi ialah individu menyadari tentang apa yang diterima melalui alat indera atau reseptor (Walgito, 1988:54)

  1. Ciri-ciri Umum Dunia Persepsi

Penginderaan terjadi dalam suatu konteks tertentu, konteks ini disebut sebagai dunia persepsi. Agar dihasilkan suatu penginderaan yang bermakna, ada ciri-ciri umum tertentu dalam dunia persepsi tersebut,

yaitu :

  1. Rangsang-rangsang yang diterima harus sesuai dengan modalitas tiap-tiap indera, yaitu sifat sensoris dasar dari masing-masing indera (cahaya untuk penglihatan; bau untuk penciuman; suhu bagi perasa; bunyi bagi pendengaran; sifat permukaan bagi peraba).
  2. Dunia persepsi mempunyai sifat ruang (dimensi ruang), kita dapat mengatakan atas-bawah, tinggi-rendah, luas-sempit, latar depan-latar belakang).
  3. Dunia persepsi mempunyai dimensi waktu; seperti cepat-lambat, tua-muda.
  4. Objek-objek atau gejala-gejala dalam dunia pengamatan mempunyai struktur yang menyatu dengan konteksnya. Struktur dan konteks ini merupakan keseluruhan.
  5. Dunia persepsi adalah dunia penuh arti. Kita cenderung melakukan pengamatan atau persepsi pada gejala-gejala yang mempunyai makna bagi kita, yang berhubungan dengan tujuan dalam diri kita.
  1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Persepsi

Walgito, (2001:54) mengemukakan bahwa persepsi seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor utama yaitu:

  1. Internal : apa yang ada dalam diri individu
  2. Eksternal : stimulus itu sendiri dan factor lingkungan dimana persepsi itu berlangsung.

Persepsi juga dipengaruhi oleh berbagai factor antara lain suasana hati, pengalaman masa lalu, dorongan yang ada pada diri individu, seperti : ingatan, motivasi, daya tangkap, kecerdasan, dan harapan-harapan (Subaidah,2009: 1).

 

  1. Keberadaan Konselor di Sekolah

Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6). Masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, memiliki keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja. Standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor dikembangkan dan dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.

Konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum. Pelayanan dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan konseling. Konselor adalah pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling, terutama dalam jalur pendidikan formal dan nonformal.

Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang admistratif atau pengajarandengan mengabaikan bidang bimbingan mungkin hanya biasa menghasilkan individuyang pintar dan terampil dalam aspek akademik, akan tetapi kurang terampil dalam halmengenal atau mengembangkan potensi yang dimikinya. Oleh karena itu keberadaan pelayanan bimbingan dan konseling sangat pentingdalam kurikulum sekolah, karena bimbingan konseling merupakan suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya dan potensi yang dimilikinya, dengan demikian konselor dapat membimbing dan mengarahkan siswa sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya, dengan arahan-arahan yang diberikan oleh konselor diharapkan siswa mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya. Pada pendidikan menengah atas tujuan pendidikan telah terbiasa oleh anggapan umum, demi mutu keberhasilan akademis seperti persentase lulusan, tingginya nilai Ujian Nasional, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi negeri. Kenyataan ini sulit dimungkiri, karena secara sekilas tujuan kurikulum menekankan penyiapan peserta didik (sekolah menengah umum/SMU) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau penyiapan peserta didik (sekolah menengah kejuruan/SMK) agar sanggup memasuki dunia kerja.

Untuk membantu siswa dalam menghadapi permasalahnya dan untuk mencapai kompetensi juga keterampilan hidup yang diinginkan itu, peserta didik tidak cukup hanya diberikan pengajaran bidang studi saja, tetapi juga dibutuhkan bimbingan dan koseling. Untuk itu penting sekali rasanya pelayanan konseling termasuk dalam kurikulum sekolah, agar dapat membantu problema yang alami oleh siswa disekolah. Posisi bimbingan dan koseling dalam pelaksanaan kurikulum sangat strtegis, dan sekolah berkewajiban memberikan bimbingan dan koseling kepada peserta didik yang menyangkut ketercapaian kompetensi pribadi, social, belajar, dan karir.

Ekspektasi kinerja konselor dalam menyelenggarakan pelayanan ahli bimbingan dan konseling senantiasa digerakkan oleh motif altruistik, sikap empatik, menghormati keragaman, serta mengutamakan kepentingan konseli, dengan selalu mencermati dampak jangka panjang dari pelayanan yang diberikan.

Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi: (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani, (2) menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling, (3) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan (4) mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan.

Unjuk kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat komptensi tersebut yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung. Kompetensi akademik dan profesional konselor secara terintegrasi membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.

Pembentukan kompetensi akademik konselor ini merupakan proses pendidikan formal jenjang strata satu (S-1) bidang Bimbingan dan Konseling, yang bermuara pada penganugerahan ijazah akademik Sarjana Pendidikan (S.Pd) bidang Bimbingan dan Konseling. Sedangkan kompetensi profesional merupakan penguasaan kiat penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang memandirikan, yang ditumbuhkan serta diasah melalui latihan menerapkan kompetensi akademik yang telah diperoleh dalam konteks otentik Pendidikan Profesi Konselor yang berorientasi pada pengalaman dan kemampuan praktik lapangan, dan tamatannya memperoleh sertifikat profesi bimbingan dan konseling dengan gelar profesi Konselor, disingkat Kons.

Asesmen Ulang Penguasaan Kompetensi Akademik Bimbingan Konseling

Kompetensi Akademik Konselor

Dalam layanan ahli bidang lain seperti akutansi, notariat dan layanan medik, kompetensi konselor yang utuh diperoleh melalui program S1 Pendidikan Profesional Konselor Terintegrasi (Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds), 1990). Ini berarti, untuk menjadi pengampu pelayanan di bidang bimbingan dan konseling, tidak dikenal adanya pendidikan professional konsekuensi sebagaimana yang berlaku di bidang pendidikan professional guru. Kompetensi akademik seorang konselor professional terdiri atas kemampuan :

1. Mengenal secara mendalam konseli yang hendak dilayani. Sosok kepribadian serta dunia konseli yang perlu didalami oleh konselor meliputi kemampuan akademik yang selama ini dikenal sebagai inteligensi yang hanya mencakup kemampuan kebahasaan dan kemampuan numerical (matematik) yang lazim dinyatakan sebagai IQ yang mengedepankan kemampuan berfikir analitik, dan juga melebar ke segenap spectrum kemampuan intelektual manusia sebagaimana dipaparkan dalam gagasan intelegensi multiple (Gardner, 1993) selain juga menghormati keberadaan kemampuan berfikir sintetik dan kemampuan berfikir praktikal di samping kemampuan berfikir analitik yang telah dikenal luas selama ini (Sternberg, 2003), motovasi dan keuletannya dalam belajar atau bekerja (perseverance, Marzano, 1992) yang diharapkan akan meneruskan sebagai keuletan dalam bekerja, kreativitas yang disandingkan dengan kearifan (a.I. Sternberg, 2003) serta kepemimpinan, yang dibingkai dengan kerangka berfikir yang mengedepankan karakteristik konseli yang telah bertumbuh dalam latar belakang keluarga dan lingkungan budaya tertentu sebagai rujukan normatif beserta berbagai permasalahan serta solusi yang harus dipilihnya, dalam rangka memetakan lintasan perkembangan kepribadian (developmental trajectory) konseli dari keadaannya sekarang ke arah yang dikehendaki. Selain itu, sesuai dengan panggilan hidupnya sebagai pekerja di bidang profesi perbantuan atau pemfalitasian (helping prosessions), dalam upayanya mengenal secara mendalam konseli yang dilayaninya itu, konselor selalu menggunakan penyingkapan yang empatik, menghormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan konseli dalam pelaksanaan layanan ahlinya.

2. Menguasai khasanah teoritik dan procedural termasuk teknologi dalam bimbingan dan konseling. Penguasaan khasanah teoritik dan procedural serta teknologik dalam bimbingan dan konseling (Van Zandt,Z dan J.Hayslip, 2001) mencakup kemampuan :

a. Menguasai secara akademik teori, prinsip, teknik dan prosedur dan sarana yang digunakan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling.

b. Mengemas teori, prinsip dan prosedur serta sarana bimbingan dan konseling sebagai pendekatan, prinsip, teknik dan prosedur dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan.

3. Menyelenggarakan layanan ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan. Untuk menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan (Gysbers, N. C. dan P. Henderson, 2006), seorang konselor harus mampu :

  • Merancang kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.
    • Mengimplementasikan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.
    • Menilai proses dan hasil kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling serta melakukan penyesuaian – penyesuaian sambil jalan (mid-course adjustments) berdasarkan keputusan transaksional selama rentang proses bimbingan dan konseling dalam rangka memandirikan konseli (mind competence).

4. Mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan.

Sebagai pekerja profesioanal yang mengedepankan kemaslahatan konseli dalam pelaksanaan layanannya, konselor perlu membiasakan diri menggunakan setiap peluang untuk belajar dalam rangka peningkatan profesionalitas termasuk dengan memetik pelajaran dengan kerangka berfikir belajar eksperiensial yang berlangsung secara siklikal (Cyclical Experiental Learning Model, Kolb, 1984) sebagai bagian dari keseharian pelaksanaan tugasnya, dengan merekam serta merefleksikan hasil serta dampak kinerjanya dalam menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling (reflective practitioner, lihat kembali Schone, 1983). Selain itu, upaya peningkatan diri itu juga dapat dilakukan secara lebih sistematis dengan melakukan Penelitian Tindakan (Action Research), dengan mengakses berbagai sumber informasi termasuk yang tersedia di dunia maya, selain melalui interaksi kesejawatan baik yang terjadi secara spontan-informal maupun yang diacarakan secara lebih formal, sampai dengan mengikuti pelatihan serta pendidikan lanjut.

Kompetensi Profesional Konselor

Pekerjaan konselor didasarkan pada berbagai kompetensi yang tidak diperoleh begitu saja. Melainkan melalui proses pembelajaran secara intensif. Kemampuan dalam penyelenggaraan pelayanan konseling tidak diperoleh sekejap melalui mimpi atau semedi atau bertapa sekian lama. Kompetensi seperti ini dibarengi dengan tuntutan untuk berfikir, secara terus menerus mengikuti dan mengakomodasi perkembangan ilmu dan teknologi. Pemberlakuan kredensialisasi meliputi : program-program sertifiksi, akreditasi dan lisensi merupakan upaya untuk menguji dan memberikan bukti penguasaan dan kewenangan atas kompetensi konselor dalam pelayanannya.

Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor terbentuk melalui latihan dalam menerapkan Kompetensi Akademik dalam bidang bimbingan dan konseling yang telah dikuasai itu dalam konteks otentik di sekolah atau arena terapan layanan ahli lain yang relevan melalui Program Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan (rigorous), yang sistematis dan sungguh – sungguh, yang rentang mulai penugasan terstruktur (self – managed practice)sampai dengan latihan mandiri dalam program pemagangan, kesemuanya di bawah pengawasan Dosen Pembimbing dan Konselor Pamong (Faiver, Eisengart, dan Colonna, 2004). Sesuai dengan misinya untuk menumbuhkan kemampuan professional konselor, maka criteria utama keberhasilan dalam keterlibatan mahasiswa dalam Program Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan itu adalah pertumbuahan kemampuan calon konselor dalam menggunakan rentetan panjang keputusan-keputusan kecil yang dibingkai kearifan dalam mengkestrasikan optimasi pemanfaatan dampak layanannya demi ketercapaian kemandirian konseli dalam konteks tujuan utuh pendidikan.

Oleh karena itu, pertumbuhan kemampuan mahasiswa calon konselor sebagaimana digambarkan di atas, mencerminkan lintasan dalam pertumbuhan penguasaan kiat professional dalam penyelenggaraan pelayanan Bimbingan dan Konseling yang berdampak menumbuhkan sosok utuh professional konselor sebagai praktisi yang aman buat konseli.

Namun di pihak lain, meskipun tergambarkan dengan sangat indah secara teoritik, juga perlu diakui kelemahan – kelemahan implementasinya selama ini, dan bertolak dari kenyataan itu, perlu diupayakan pengatasannya di masa yang akan datang, sehingga amanat penyelenggaraan pendidikan pra-jabatan konselor itu dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya. Ini juga berarti bahwa penyelenggaraan Program Pendidikan Profesional konselor yang berupa Program Pengalaman Lapangan itu memerlukan perhatian lebih dari yang diberikan di waktu yang lalu. Selain itu, juga sangat diperlukan dukungan dari pihak pengelola sekolah dan arena praktik lapangan lainnya, sebab berbeda dari pendidikan medic yang didukung penuh oleh rumah sakit setempat, pelaksanakan PPL LPTK umumnya kurang mendapat sambutan dari pihak sekolah, meskipun agaknya kesalahan juga terdapat di pihak LPTK.

Dengan kata lain, simbiosis-mutualistis sebagaimana yang terdapat dalam bidang medik itulah yang perlu ditumbuhkan dalam rangka pendidikan professional konselor di tanah air.

  1. C.       Persepsi Siswa Terhadap Keberadaan Konselor

Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku yang merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling.

Penanganan siswa bermasalah melalui pemdekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sangsinya. Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta sangsinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sangsi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku.

Oleh karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan, yaitu pendekatan melalui bimbingan dan konseling. Penanganan siswa bermasalah melalui bimbingan dan konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sangsi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.

Masih banyak anggapan bahwa keberadaan konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan sekolah. Anggapan ini mengatakan “Barangsiapa di antara siswa-siswi melanggar peraturan dan disiplin sekolah harus berurusan dengan konselor”. Tidak jarang pula konselor sekolah diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian. Konselor ditugaskan mencari siswa yang dan diberi wewenang untuk mengambil tindakan bagi siswa yang bersalah itu. Konselor didorong untuk mancari bukti-bukti atau berusaha agar siswa mengaku bahwa ia telah berbuat sesuatu yang tidak pada tempatnya atau kurang wajar, atau merugikan.

Dapat dibayangkan bagaimana tanggapan siswa terhadap konselor yang mempunyai wajah seperti tersebut. Adalah wajar siswa menjadi takut dan tidak mau dekat dengan konselor. Konselor di satu pihak dianggap sebagai “keranjang sampah”, yaitu tempat ditampungnya siswa-siswa yang rusak atau tidak beres, dilain pihak dianggap sebagai “manusia super”, yang harus dapat mengetahui dan dapat mengungkapkan hal-hal yang musyrik yang melatar belakangi suatu kejadian atau masalah.

Berdasarkan pandangan di atas, adalah wajar bila siswa tidak mau datang kepada konselor karena menganggap bahwa dengan datang kepada konselor berarti menunjukkan aib, ia mengalami ketidakberesan tertentu, ia tidak dapat berdiri sendiri, ia telah berbuat salah, atau predikat-predikat lainnya. Padahal, sebaliknya dari segenap anggapan yang merugikan itu, disekolah konselor haruslah menjadi teman dan kepercayaan siswa. Di samping petugas-petugas lainnya di sekolah, konselor hendaknya menjadi tempat pencurahan kepentingan siswa, pencurahan apa yang terasa di hati dan terpikirkan oleh siswa. Petugas bimbingan dan konseling bukanlah pengawas ataupun polisi yang selalu mencurigai dan akan menangkap siapa saja yang bersalah. Petugas bimbingan dan konseling bukanlah kawan pengiring petunjuk jalan, pembangun kekuatan, dan pembina tingkah laku-tingkah laku positif yang dikehendaki. Petugas bimbingan dan konseling hendaknya bisa menjadi sitawar-sidingan bagi siapapun yang datang kepadanya. Dengan pandangan, sikap, keterampilan, dan penampilan konselor siswa atau siapapun yang berhubungan dengan konselor akan memperoleh suasana sejuk dan member harapan.

Sesuai dengan asas kegiatan, di samping konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun,  terutama klien, harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut. Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Mereka hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan itu. Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata ditimpakan hanya kepada konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.

 

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Institusi pendidikan saat ini memang menjadi parameter dalam upaya meningkatkan martabat suatu bangsa. Oleh karena itu setiap sekolah berlomba-lomba menjadi institusi yang bisa mencetak lulusan berkualitas. Disamping itu pemerintah pun dalam mendukung upaya ini yaitu dengan peningkatan anggaran pendidikan sebesar 20%. Signifikan sekali persentase tersebut, dengan harapan institusi pendidikan yang ada berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan kualitas lulusannya.  Salah satu upaya tersebut adalah peningkatan tenaga kependidikannya yang dalam hal ini adalah guru.

Guru sebagai penyampai informasi harus berkualitas tentunya. Bagaimana bisa muridnya berkualitas jikalau gurunya tidak berkualitas. Disini terdapat suatu hubungan dimana berkualitasnya guru akan berpengaruh juga terhadap kulitas siswa yang dihasilkan nantinya.

Realitanya saat ini, seiring dengan perkembangan zaman yang juga bersamaan dengan kemajuan IPTEK maka terdapat suatu dampak yang perlu diantisipasi terkait dengan masa-masa perjalanan psikologis siswa. Dalam hal ini semakin tinggi pendidikan siswa dan bertambahnya usia maka permasalahan yang dihadapi siswa semakin kompleks. Oleh karena itu, disamping terdapat guru pengajar disuatu sekolah, diperlukan juga tenaga khusus yang berfungsi untuk membantu siswa dalan memecahkan permasalahannya atau dengan kata lain membantu menyeimbangkan antara proses mengenyam pendidikan melalui pelajaran yang diterima dengan membantu pemecahan masalah yang dihadapi siswa. Guru yang dimaksud adalah Guru Bimbingan Konseling (BK) atau seorang Konselor Sekolah.

Keberadaan konselor disuatu sekolah sangat urgen sekali, dimana sebagai pendukung dari proses pengajaran konselor membantu siswa dalam melancarkan proses penerimaan pengajaran terkait dengan hal-hal yang perlu mendapat bimbingan. Sehingga dengan demikian siswa akan memiliki solusi terhadap sesuatu hal yang dialaminya.

Berdasarkan TUPOKSI-nya, konselor memiliki fungsi2 tertentu yang sudah diatur dalam tata pelaksanaan bimbingan konseling disekolah. Namun mayoritas dilapangan peran fungsi Guru BK tidak lain sama dengan TUPOKSI Wakil KESISWAAN. Jelas hal ini tidak sesuai dengan TUPOKSI dari Guru BK yang semestinya.

Keberadaan guru BK seharusnya menjadi sahabat bagi siswa disekolah, bukan bertugas lain sebagai Polisi Sekolah. Dalam hal ini ada pokok poin mendasar yaitu Guru BK tidak diperkenankan memberikan sanksi seperti kewenangan kesiswaan. Namun diperkenankan hanya memeberikan Bimbingan ataupun konseling yang sifatnya membantu siswa atau istilahnya Klien dalam mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapinya. Jadi tidak serta merta meberikan sanksi atau menghukum siswa berkaitan permasalahannya semisal pelanggaran Tatib. MOTO saja BK PEDULI SISWA, artinya seorang siswa memiliki sahabat disekolah yang senantiasa akan selalu membantunya, mengasihi, mendidik bahkan selalu menjadi ujung tombak dalam mencari solusi dari problem yang dihadapi.

Problem siswa ditingkat SMP ataupun di SMA jelas beda, semakin tinggi semakin kompleks pula. Namun ada anggapan bahwa Guru BK tugasnya mengatasi siswa yang bermasalah saja. Itulah pandangan sempit mengenai keberadaan Guru BK. Guru BK mengatasi siswa yang bermasalah serta siswa yang tidak bermasalah artinya bukan siswa yang bermasalah saja. Siswa yang bermasalah sudah pasti terkait tingkah lakunya atau problem lainnya baik yang ada disekolah maupun yang dialami dalam kehidupan keluarganya yang berdampak terhadap proses kegiatannya disekolah semisal sering bolos, keluarga broken home, kenakalan remaja, stres dan lainnya. Disisi lain jangan berpikir bahwa siswa yang pintar tidak memiliki permasalahan juga, terdapat juga permasalah yang muncul semisal bingung menentukan program jurusan, drop karena nilai turun, kemampuan ekonomi, perlunya bimbingan belajar, pemilihan perkuliahan, informasi perguruan tinggi dan masih banyak lagi masalah-masalah lainya. Dengan demikian segala permasalahan tadi merupakan tugas dari seorang Guru BK atau konselor terhadap Klien-nya.

Disamping berkaitan dengan permasalahan siswa, konselor sekolah juga dikenal dengan istilah ” GUDANG SISWA ” disini dimaksudkan bahwa konselor merupakan tempat untuk mengetahui informasi tentang segala sesuatu berkaitan dengan siswa. Dikatakan gudang berarti tempat untuk menyimpan jadi jelas data yang disimpan berupa data-data siswa, kumpulan permasalahannya serta informasi lainnya seputar kevalidan data tentang siswa.

Sungguh bukan hal yang mudah tugas menjadi konselor, disamping bertugas memberikan bimbingan di sekolah, menyimpan data masih memiliki tugas terkait tugas tambahan yang tidak dimiliki Guru Mata Pelajaran UMUM yaitu kegiatan kunjungan rumah yang biasa disebut Home Visit. Hal ini merupakan suatau upaya memperoleh data yang valid serta salah satu upaya membantu mengatasi permasalahan siswa. Oleh karena itu, sungguh hal yang patut dipertanyakan ketika terdapat pandangan yang minor terhadap konselor sekolah. Pemerintah saja sadar akan pentingnya konselor kenapa kita tidak. Sadarlah dan yakinlah bahwa keberadaan konselor di sekolah akan sangat membantu terhadap proses yang ada dalam institusi pendidikan.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Prayitno dan Erman Amti. 1994. Dasar – Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta.

Hikmawati Fenti. 2010. Bimbingan konseling. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Depdiknas. 2008. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung : Jurusan BK UPI.

http://kulpang25.blogspot.com/2012/08/meluruskan-persepsi-terhadap-bk-di.html

http://counselingkonseling.blogspot.com/2010/03/assessment-bimbingan-konseling.html

http://himcyoo.wordpress.com/2012/06/05/asessmen-bimbingan-dan-konseling/

http://midwijaya.blogspot.com/2010/06/keberadaan-guru-bk-disekolah-konselor.html

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 9, 2012 inci Seminar BK

 

Tinggalkan komentar